Monday 31 May 2010

KEHILANGAN

Hari ini seorang teman saya, Liem, datang kepada saya dan menumpahkan segala penyesalan dan keluh kesahnya. Dia bercerita panjang lebar bagaimana bodohnya dia sampai tadi malam dia bisa kehilangan BlackBerry (baca: BB) semalam. Dia juga tidak begitu jelas tentang tempat jatuhnya benda kesayangannya itu. Namun rupanya BB itu jatuh ketika ia sedang berlari cukup kencang di area tempat makan Loop. Cerita-cerita ini hanyalah sisipan dari berbagai penyesalan dan keluhan di tengah stres yang -saya tahu- sedang dia rasakan. Keluhan yang nyaris sama dalamnya dangan satu lagi teman saya, Yongky, yang juga baru saja kehilangan BB'nya minggu lalu.

Satu hal sama yang dirasakan dua teman saya ini: PENYESALAN.

Saat ini saya pun sedang gundah, bahkan bisa dibilang sangatlah gundah. Bagaimana tidak, BB yang juga menjadi alat komunikasi dan sekaligus senjata ampuh untuk mengusir kebosanan ini sedang bermasalah juga. Entah hang atau blank atau apalah namanya itu. Tapi yang jelas layarnya menjadi putih ketika BB itu hendak saya nyalakan lagi setelah mengalami freeze. Ah menyesal juga saya selama ini tidak baik-baik merawat benda yang mungkin sudah menjadi teman saya berbagi cerita dan bahkan rahasia itu. =P

Bukan hanya kehilangan BB, segala kehilangan apapun pasti akan menimbulkan penyesalan kemudian. Orang bijak pernah berkata:

"kita tidak akan pernah menyadari betapa berharganya sesuatu itu sampai kita kehilangannya."

BlackBerry, seperti yang saya ceritakan di atas hanya contoh kecil. Masih banyak hal lain yang kita juga tidak sadari kalau itu sangatlah berharga sampai kita benar-benar kehilangannya. Orang yang kita sayang mungkin?

Sudah begitu banyak orang yang menyesal karena hal ini, tapi akan lebih banyak lagi orang yang akan mengalami penyesalan yang sama. Seperti Liem yang sering mengeluh betapa tidak bergunanya Javeline miliknya, tapi akhirnya dia menyesal sekali bisa kehilangan BB itu di tempat makan. Jadi lebih baik kita benar-benar menjaga apa yang kita miliki, agar tidak ada lagi penyesalan ketika sudah tidak ada lagi. Salam.

Sunday 16 May 2010

Membangun brand value dan brand loyalty bagi Persebaya melalui brand repositioning serta pembentukan brand image

Masyarakat Surabaya tampaknya sudah hapal betul dengan tingkah ‘bonek’. Ada-ada saja yang mereka lakukan sebagai bagian dari kekecewaan kekalahan tim kesayangan mereka, Persebaya. Persatuan Sepakbola Surabaya, atau lebih akrab disebut Persebaya memang mempunyai cukup banyak jumlah pendukung, yang menamakan diri mereka sebagai bonek, alias bondo nekat. Tidak hanya kerusuhan yang mereka buat, tapi juga kekacauan di jalanan kota, sampai membakar barang-barang yang dianggap bisa menjadi ekspresi kekecewaan mereka sendiri.

Banyak pihak yang bertanya apa sumber dari segala kericuhan ini. Kesimpulan saya selama ini adalah, bonek tidak cukup lapang dada untuk menerima kekalahan. Ya, mereka tidak cukup dewasa untuk mengakui keunggulan Arema Malang, Persija Jakarta, dan puluhan tim lainnya di pentas persepakbolaan negeri ini. Padahal cukup jelas bahwa tim-tim lain punya materi pemain yang lebih baik dengan tingkat disiplin yang juga tinggi. Tidak hanya dari pemainnya, tapi juga dari disiplin penonton yang hadir di stadion. Berpengaruhkah itu pada prestasi di atas lapangan? Tentu. Berbagai media asing selalu menyebut tim-tim kelas dunia seperti Manchester United, Inter Milan, maupun Barcelona seperti bermain dengan 12 pemain di kandangnya sendiri karena dukungan yang solid dari pendukungnya sendiri. Salut untuk itu.

Kemudian bagaimana dengan keadaan Persebaya? Penonton yang rusuh, stadion di bawah standar, warga kota yang sudah tidak peduli, serta diperparah lagi oleh carut marutnya kondisi manajemen tim menjadi gambaran apa penyebab buruknya prestasi Persebaya beberapa tahun ini. Apa lagi yang bisa kita perbuat untuk tim yang identik dengan warna hijau ini? Banyak sebenarnya. Yang pertama jelas adalah kondisi manajemen yang harus diperbaiki. Melalui manajemen yang transparan, kondusif, dan tertata maka dapat timbul peluang untuk memajukan Persebaya seperti yang sudah dirindukan saya dan jutaan masyarakat Surabaya lainnya.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah memperbaiki citra (brand image) Persebaya yang sudah telanjur buruk. Tentu hal ini tidak mudah, dan malah menjadi hal tersulit di dalam pengelolaan Persebaya yang professional dan terbuka. Hal ini juga harus dilengkapi dengan positioning Persebaya yang bukan hanya tim sepakbola Surabaya, tapi juga merupakan bagian dari masyarakat kota ini. Perlu ada rasa memiliki yang dibangun di sini. Hal ini bisa dengan melakukan story telling, atau event langsung untuk dapat mengenalkan masyarakat serta tentunya menunjang awareness masyarakat Kota Surabaya. Tak berhenti sampai di sana, dampak lain adalah peningkatan brand value dari Persebaya sendiri bila “namanya” sebagai sebuah merek dari tim sepakbola tanah air terangkat maka otomatis hal ini akan menimbulkan kebanggaan dari warga kota.

Surabaya sebagai kota besar dan bersejarah telah mempunyai banyak ikon kota. Tugu Pahlawan, Patung Suro & Boyo, Jalesveva Jayamahe, Gedung Grahadi, House of Sampoerna, kemudian yang terbaru adalah jembatan terpanjang se-Asia Tenggara, Suramadu. Maka bukan tidak mungkin bila suatu hari nanti Persebaya juga dapat menjadi ikon baru sekaligus menjadi kebanggaan Kota Surabaya. Salam.

(Tulisan saya ini pernah dipublikasikan oleh Jawa Pos dan menuai banyak komentar pembaca. Ingin tau lebih banyak tentang penulis? Ikuti kicauannya di Twitter @agung_putrajoyo.)