Monday 25 January 2010

Haiti, antara kemalangan dan kemiskinan

Pagi-pagi ini hati saya sudah dibuat tidak nyaman dengan berita dari haiti. Korban gempa di negara kecil itu tampaknya tidaklah beruntung karena distribusi makanan serta bantuan tidak bisa masuk dengan deras kesana. Ttim medis serta bantuan pangan pun tidak bisa didapatkan secara mudah di negara yang luluh lantak itu. Sungguh miris memang tapi apa yang terjadi juga bukanlah kesalahan siapa-siapa karena saya yakin pemerintah setempat sudah dipusingkan dengan infrastruktur yang hancur lebur.

Melihat anak-anak kecil yang menangis di pinggir jalan karena kelaparan itu saya jadi teringat gempa serta tsunami di aceh. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMA dan tidak seberapa paham arti besar infrastruktur serta pembangunan bagi ekonomi. Namun satu hal yang membuat saya jatuh iba adalah anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya di usia dini.

Mungkin kita yang hidup di kota besar, bisa setiap hari menyaksikan film box office di sinema, nongkrong di kafe dengan brand internasional yang semakin meramaikan mal-mal kita sudah amat sangat beruntung. Saya jadi ingat sebuah data yang -sebenarnya- menampar habis pemerintahan saat ini, yakni 40% masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. YA, kemiskinan. Itu artinya mereka punya sedikit sekali kesempatan untuk sekolah, dan nyaris tidak ada kesempatan menikmati enaknya yogurt dengan topping baru di sour sally. Saya jadi heran sendiri dengan pemerintah yang terlampau sering mengatakan negara kita ekonominya aman, stabil, tapi data tidak pernah berkata bohong. Salam.

Thursday 14 January 2010

kaki di kepala, kepala dimana?

Sudah cukup lama juga sampai akhirnya saya menulis posting kedua ini. Buat anda yang bertanya apa alasannya, jelas bukan karena hebohnya pansus bank century di DPR, bukan juga karena saya sedang sibuk menghitung koin untuk Prita Mulyasari, tapi memang beberapa urusan pribadi dan juga orang tua saya yang mengajak untuk ikut ke Malang menjadi penyebab utama terlambatnya posting ini muncul.

Tapi diam-diam saya juga mesyukuri perjalanan singkat namun padat ke Malang itu. Bukan karena apa-apa, tapi tampaknya rutinitas saya sebagai mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun skripsi mengharuskan saya untuk bekerja tanpa kenal lelah menyelesaikan kata demi kata, halaman demi halaman, lembar skripsi yang pada akhirnya akan berakhir di gudang penyimpanan barang serba guna gedung P lantai 9.

Dengan asumsi e masih sama dengan mc², maka saya mulai berpikir bagaimana dengan ribuan mahasiswa lainnya di negeri ini, yang menyandang gelar sarjananya dengan 'membeli gelar'. Tema yang terkesan menggelitik ini juga sempat dibahas oleh salah satu produk rokok terkenal melalui iklannya yang memang kritis dan berbobot. Sarjana palsu, melahirkan pejabat palsu, pejabat palsu menghasilkan pekerjaan palsu, yang kemudian seperti efek bola salju menghasilkan kata-kata palsu, senyum palsu, kepuasan palsu, dan banyak kepalsuan lainnya.

Maka bukanlah tidak mungkin kalau lambat laun kasus seperti bank century kemudian terjadi dimana bank konyol dari negeri antah berantah itu mampu menyedot perhatian seluruh negeri dengan dana bailout triliunan rupiahnya. Maka ketika wakil presiden Boediono dan Menkeu Sri Mulyani sudah terjerat kasus ini dan harus menjalani pemeriksaan rutin layaknya Anggodo, toh sama saja kalaupun masuk penjara nasibnya tidak akan lari jauh dari nasib Artalyta Suryani alias Ayin yang sel penjaranya sekualitas dengan hotel berbintang dilengkapi laptop, ruang kerja, AC, dan ruang karaoke mewah.

Posting ini pun harus saya akhiri tanpa kesimpulan, tapi justru dengan pertanyaan yang harus kita pikirkan bersama, kaki di kepala, maka kepala ada dimana?
Sekian.

Friday 8 January 2010

secuil, atau sebongkah?

Akhir-akhir ini berita tentang politik seolah sudah menjadi makanan sehari-hari kita. Setelah kasus bank century, prita mulyasari, buku menguak gurita cikeas, lalu terakhir pertikaian di gedung DPR. Entah keributan macam apa lagi yang bisa terjadi di negeri ini, seolah ada sebuah bom waktu yang siap meledak kapanpun. Masyarakat kita seperti terombang-ambing oleh kondisi politik dalam negeri. Ketika tadi pagi sebuah stasiun televisi swasta tanah air -lagi-lagi- menyiarkan adu mulut antara Gayus Lumbuun dari PDIP dengan Ruhut Sitompul dari Demokrat, saya jadi teringat kata-kata Almarhum Mantan Presiden kita, Gus Dur, "Anggota DPR sekarang kayak anak TK.."

Namun di saat yang sama, kehidupan sehari-hari di kampusku yang tercinta seakan tidak terpengaruh sama sekali oleh hingar bingar politik di Senayan sana. Dosen-dosen ekonomi yang memang sudah sejak awalnya tidak bersahabat dengan suhu politik tanah air semakin tidak peduli dengan berita-berita buruan wartawan itu. Entah, karena memang sudah begitu jengah, atau malah sudah mulai mengangap berita politik kini tidak kalah panasnya dan tidak kalah ngawurnya dengan berita infotainment yang sekarang mulai mengruangi intensitas 'ngawurnya' pasca pertengkaran dengan Luna Maya.

Jadi setelah masyarakat kita tidaklah lagi percaya dengan politisi macam itu, harapan dikembalikan kepada kambing hitam yang paling mudah dihitamkan: MAHASISWA. Ya pemuda, kitalah yang sekarang digalang-galang mampu kembali membawa perubahan ke negeri yang sedang carut-marut ini. Sejarah mencatat, beberapa kali pemuda dan mahasiswa mampu membawa perubahan cukup besar di negara ini. Tak salah lagi rupanya perkataan Bung Karno yang fenomenal itu, "Berikanlah aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncangkan dunia!"

Nah di tengah kondisi yang serba tidak pasti ini, masihkah ada harapan itu? Dan kalaupun ada, jumlahnya apakah secuil atau sebongkah? Salam.