Sunday 19 May 2013

Malioboro, Borobudur, dan Trans Jogja

Hari kedua di Jogja selain Malioboro juga akan diisi dengan wisata candi. Apalagi kalau bukan Borobudur dan Prambanan, keduanya sangat indah dan yang paling penting keduanya merupakan peninggalan bersejarah karya anak bangsa -yang sayangnya- terkesan kurang diperhatikan oleh pemerintah akan pengelolaan dan perawatannya.

Setelah puas menyantap breakfast di Hotel Whiz Jalan Dagen (Malioboro area) berupa Gudeg Yu Djum, perjalanan pun dimulai dengan menaiki Trans Jogja rute 2A di Halte Malioboro lalu berhenti di Terminal Jombor. Sempat ada ganti halte sekali (saya lupa nama haltenya) tapi ini bisa ditanyakan kepada petugas Trans Jogja di halte maupun di dalam bus. Secara umum para petugas bus sangatlah ramah dan informatif tentang tujuan dan objek wisata di Yogyakarta. Dari terminal Jombor, naiklah bus jurusan Borobudur (sekitar 1 jam arah Magelang dan ongkosnya 10 ribu). Turunlah di pemberhentian terakhir (tanyakan kepada kondektur di atas bus). Ingatlah bahwa ini adalah bus non-AC, namun mengingat udara di Jogja tidak sepanas di Bali maupun Surabaya rasanya ini tidaklah masalah). Dari terminal terakhir ini, bisa naik andong atau becak ke candinya (biasanya kusir akan menawarkan paket ke tiga candi yang akan membuat Anda bingung karena disitu juga ada Candi Mendut, jadi sebaiknya langsung saja bilang kalau mau ke Candi Borobudur) ongkos sekitar 10-15 ribu (ingat rajin nawar).

Tiket masuk candi harganya 30ribu, dan kompleks candi ini dibuka mulai pukul 6 pagi. Saran saya kalau Anda tidak mau berpanas-panasan dan berjubel dengan turis lain, datanglah pagi hari ketika kompleks candi masih sepi. Setelah masuk, Anda akan ditawari untuk naik kereta untuk mendekati candi. Saran saya naiklah kereta ini, selain tarifnya hanya 10ribu juga ada free air minum botol dan jarak ke candi ternyata lumayan jauh apabila berjalan kaki, lumayan ngirit tenaga terutama bagi Anda yang punya jadwal yang masih cukup padat. Bagi yang mau membeli barang dan oleh-oleh harga di dalam kompleks candi ini termasuk murah dan lebih rasional dibandingkan dengan penjual di pinggir jalan Malioboro (jangan lupa rajin nawar).

Setelah keluar dari Candi Borobudur, kami kembali ke Kota Jogja. Tujuan berikutnya adalah Candi Prambanan. Rute kesini adalah seharusnya kemarin sore sekembalinya dari Solo. Namun karena hujan deras yang tak kunjung berhenti, akhirnya rute Candi Prambanan harus dimasukkan ke hari kedua. Turun di Halte Prambanan, harga tiket masuk ke kompleks candi juga 30ribu. Rupanya karena gempa yang menimpa Jogja pada 2010 silam, saat ini Candi Prambanan cukup rusak parah. Proyek konstruksi ulang dan perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum dapat menyentuh seluruh sisi candi yang begitu bersejarah ini. Sedih rasanya melihat peninggalan sejarah harus retak-retak dan terkesan diabaikan oleh pemerintah Indonesia.

Sekembalinya dari Candi Prambanan, hari sudah hampir sore ketika kami menaiki Trans Jogja dan turun di Halte Malioboro 2 yang berada dekat dengan Jalan Dagen. Karena seharian sudah berkeliling dan menikmati keindahan candi, malamnya kami mengunjungi Plaza Ambarukmo Jogja yang konon merupakan salah satu mall terbesar di kota ini. Dan benar saja, malam itu suasana cukup ramai. Setelah berkeliling dan mencoba beberapa cakes, kami akhirnya kembali lagi ke Malioboro untuk menikmati suasana khas Jogja. Di dekat Mal Malioboro kami mencoba Artemi Ice Cream yang cukup terkenal dan memang benar bahwa rasanya sangat nikmat dan dapat dicoba.

Thursday 2 May 2013

Jogja & Solo: Sebuah Kisah Yang Tertunda

Sudah lama sekali rasanya sejak trip saya ke Jogja dan Solo (akhir bulan Januari lalu tepatnya) tapi sampai sekarang belum juga sempat menuliskannya di blog ini. Setelah berjuang mengumpulkan serpihan-serpihan cerita itu, akhirnya disinilah saya akan menceritakan kisah liburan ke dua diantara sekian kota indah di Indonesia: Yogyakarta & Solo.

Perjalanan ini dimulai pagi buta, menggunakan pesawat AirAsia rute Denpasar-Yogyakarta pukul 05.50, saya dan seorang teman mendarat di Bandara Adi Sucipto pukul 06.10 WIB, pagi itu suasana bandara masih sangat lengang. Hanya terdapat beberapa petugas bandara dan porter yang kebetulan bertugas pagi. Tidak banyak antrean dimana-mana yang membuat saya sedikit bingung apakah karena masih kepagian atau memang bandara ini tidaklah seramai Ngurah Rai di Bali atau Juanda di Surabaya. Yang pasti saya suka kota ini, bahkan ketika pertama kali mendarat di bandaranya. So, welcome to Gudeg city! :)

Dari bandara, menggunakan taksi kami pun segera menuju Jalan Malioboro, tepatnya lagi di Jalan Dagen untuk menitipkan barang di hotel tempat kami akan menginap nanti malam, Whiz Hotel Dagen. Setelah itu, kami menuju Stasiun Tugu yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Malioboro (remember, Stasiun Tugu tidaklah sama dengan Tugu Yogya.) Setelah membeli tiket kereta Sri Wedari seharga Rp 20.000,- di stasiun, kami pun mencari sarapan untuk mengisi perut yang sudah meronta-ronta sejak pagi (eh ini lapernya ya masih pagi ding!) Selesai sarapan, kami pun menunggu di dalam Stasiun Tugu. Selain karena takut ketinggalan kereta, bingung juga mau jalan-jalan kemana karena di sekitar stasiun hanyalah terdapat toko-toko dan hotel. Suasana di dalam stasiun terasa cukup otentik, walaupun sudah beberapa kali direnovasi namun kesan heritage dan khas Yogya tidak dihilangkan dari stasiun ini.

Kereta Sri Wedari Jogja-Solo
Tidak lama menunggu, kereta berwarna merah terang menyala ini pun datang. Karena merupakan kereta ekspress, tidak ada nomor bangku di tiket yang sudah dibeli sehingga penumpang pun harus rela berebut kursi. bagi yang terlambat atau kurang beruntung, Anda harus menempuh perjalanan ke Solo sekitar 1 jam dengan berdiri. Prinsip 'siapa cepat dia dapat' sangat berlaku di kereta ini.

Tiba di Stasiun Balapan Solo, kami pun segera menuju ke Keraton Solo menggunakan becak. Namun suasana sangat padat pagi itu, karena bertepatan dengan Hari raya Maulud Nabi Muhammad yang memang dirayakan dengan cukup semarak di Jogja dan Solo. Di kedua kota ini terdapat sejenis festival dengan nama Sekaten 2013 yang dipadati oleh warga setempat. Bahkan Jalan Slamet Riyadi yang merupakan salah satu jalan protokol di Kota Solo sudah dipenuhi oleh kerumunan orang sejak pagi. Dan benar saja, semakin mendekati Keraton Surakarta, situasi semakin ramai dan membuat kami menskip tempat ini dan hanya sempat mengintip dari luar saja lalu melanjutkan perjalanan menuju Pasar Klewer.

Bus Werkudara, Solo.
Puas berbelanja beberapa baju batik, kami pun segera menuju Kantor Dishub Surakarta untuk menumpang bus tingkat Werkudara yang akan membawa kami berkeliling Kota Solo. Bus ini merupakan sejenis sightseeing bus atau di luar negeri lebih dikenal dengan nama Hop On - Hop Off Bus. Dalam perjalanannya tidak banyak yang bisa kami lihat dari atas bus karena hujan deras yang turun sejak pertama kali berangkat hingga tengah perjalanan, membuat suara pemandu harus beberapa kali mengeraskan suaranya karena suara hujan. Menurut saya, informasi yang diberikan oleh pemandu tentang Kota Solo kurang 'menjual' dan informatif. Misalnya, pemandu malah lebih sibuk menjelaskan nama-nama hotel, bukannya lebih mengksplor sesuatu yang bersifat lokal seperti Loji Gandrung, kediaman Walikota Solo yang dulu juga pernah ditinggali oleh Jokowi sebelum menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Namun di luar itu, keberadaan bus ini harusnya diapresiasi sebagai salah satu inovasi dalam dunia pariwisata kreatif sebagai satu-satunya sightseeing bus di Indonesia. Bahkan, Yogya dan Bali yang mendaulat dirinya sebagai daerah pariwisata pun belumlah memiliki layanan serupa.

See you on the next chapter: back to Yogya!