Thursday 29 April 2010

Agama Baru Bernama BlackBerry™

"Eh add PIN'ku donk."
"Please jangan sembarangan kirim broadcast message."

Istilah-istilah ini mungkin sudah sangat akrab bagi para pengguna BlackBerry. Smartphone asal Kanada ini seakan telah menjelma menjadi sebuah gaya hidup baru metropolis yang tidak pernah lepas dari tren dan lifestyle sebagai wujud masyarakat modern dan tidak pernah mau ketinggalan jaman. Alhasil ketika BlackBerry telah sampai di Indonesia, masyarakat berbondong-bondong untuk mencicipi satu experience baru memakai smartphone yang identik dengan fasilitas chatting BlackBerry Messenger, push-email, Facebook, twitter, hingga MySpace dan belum lagi ringtone khasnya hingga silikon aneka warna yang menjadi pemakai BlackBerry dapat merasakan sebuah pengalaman yang tidak pernah bisa diberikan secara utuh oleh Nokia, sang market leader selama ini.

Seperti dampak positif yang dibawanya, BlackBerry tentu juga memberikan dampak negatif yang tidak bisa dihindari lagi. KEAUTISAN. Ya, mungkin itu istilah paling sempurna untuk menggambarkan bagaimana seseorang tidak lagi memperhatikan lingkungannya tapi malah asik mengetik keyboard sambil tertawa sendiri. Mengutip perkataan seseorang yang masih saya ingat sampai saat ini:

"BlackBerry mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat."


Ada betulnya. Kini untuk berkomunikasi saya -dan juga jutaan masyarakat Indonesia lainnya- hanya cukup menekan logo BlackBerry Messenger yang sekarang sudah sangat akrab saya gunakan, dan kemudian dengan mudahnya saya bisa berkomunikasi dengan teman-teman yang beberapa berada di Singapura, Tiongkok, bahkan Amerika sekalipun. Namun saat berjalan-jalan dengan teman di plaza, komunikasi kami menjadi sangat amat berkurang karena sebagian waktu telah terpangkas oleh aktifitas di depan handphone yang -dulunya- tidak pernah terjadi ketika saya masih menjadi pengguna setia Nokia.

Belum lagi ditambah oleh promosi, HOAX, pesan berantai (KIRIMKAN INI KE 20 ORANG ATAU KESIALAN AKAN MENDATANGIMU...) dan hal-hal lain yang membuat saat ber-BlackBerry saya sedikit banyak terganggu. Annoying, istilah yang dipakai beberapa teman yang kesal oleh broadcast HOAX akan kacaunya sistem RIM Kanada beberapa saat lalu.

Tanggung jawab. Ya, mungkin itulah yang dibutuhkan oleh saya dan jutaan pemakai BlackBerry lainnya untuk dapat menggunakan handheld ini dengan bijak dan tanpa mengganggu pemakai lainnya. Bukan broadcast itu yang kami butuhkan, bukan juga berita HOAX itu. Tapi kenyamanan dan kemudahan berkomunikasi, itu yang dicari oleh orang-orang yang antri di Roxy Jakarta, WTC Surabaya, maupun pusat penjualan gadget lainnya. Dengan semakin canggihnya teknologi, mungkin kesadaran pemakainya lah yang menjadi satu-satunya cara agar kehidupan kita menjadi semakin mudah tanpa mengganggu pemakai lainnya. Salam.



Wednesday 28 April 2010

Shutter Island dan Perfilman Indonesia

Akhir pekan lalu saya kira sudah menjadi waktu yang paling sempurna untuk menghabiskan waktu di bioskop menonton satu film yang memang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama: Shutter Island. Beberapa kali menyaksikan trailernya di situs broadcast yourself alias Youtube dan membaca preview di beberapa situs kritik film membuat saya semakin penasaran saja dengan aksi Leonardo Dicaprio di film ini. Kebetulan ajakan dari teman lama membuat saya tak ragu meninggalkan setumpuk pekerjaan revisi skripsi yang harusnya saya rampungkan malam itu. Tujuan kami malam itu: Supermal Pakuwon. Ya sudahlah, lokasinya yang jauh tampaknya akan terbayar dengan film yang sudah saya nanti ini. Lagipula sejak bioskopnya direnovasi dan berganti nama menjadi Supermal XXI saya belum pernah sekalipun menonton di sana (dulu namanya Studio 21).


Makan malam terasa sangat cepat karena saya sudah sangat tidak sabaran masuk bioskop dan mulai menyaksikan film ini. Awal-awal film terasa biasa dan cenderung monoton sampai endingnya yang membuat saya tercengang sendiri. Sangat brilian. Itulah yang saya pikirkan tentang bagaimana pikiran kita telah disugesti sejak awal (sorry guys yang belum nonton pastilah bingung apa maksudnya. hahahaha..)

Tampaknya publik pecinta film tanah air sudah sangat rindu akan film berbobot seperti ini. Namun sebaliknya, film Indonesia hanya didominasi film murahan yang ceritanya terkesan 'asal-asalan' dan hanya profit oriented. Padahal di tengah carut marutnya industri film nasional, kita butuh udara segar untuk sekedar menegakkan kembali kejayaan film nasional. Semoga saja suatu saat nanti kerinduan kita itu akan terbayar dengan tontonan film berkualitas internasional di Indonesia. Salam.

Saturday 10 April 2010

Brand Rejuvenation

Ini adalah pertama kalinya saya membuat posting tentang dunia merek atau brand pasca dinyatakan CERTIFIED di sertifikasi profesi brand communication beberapa saat lalu. Bukannya tidak mau membagi pemikiran tentang dunia yang punya banyak sudut pandang ini, namun saya malah takut kalau ternyata sudut pandang saya tentang konsep suatu brand itu kurang tepat, atau malah salah sama sekali. Namun belakangan saya menjadi sedikit lebih berani setelah menyadari bahwa ternyata siapapun itu, bahkan Philip Kotler sekalipun pastilah dapat melakukan kesalahan. Dan dari kesalahan-kesalahan kecil itulah kelak seorang Kotler dapat menjadi Kotler, seorang Dahlan Iskan dapat menjadi Dahlan Iskan, dan seorang Agung tetaplah menjadi Agung, namun tentu Agung yang sudah sedikit lebih berpengalaman karena telah 'belajar' dari kesalahan-kesalahan itu.

Dalam kesempatan kali ini saya mencoba menggali suatu tema menarik di dunia brand communication, yakni brand rejuvenation. Hal ini dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk meremajakan kembali sebuah merek. Di Indonesia sendiri misalnya kita mengenal beberapa everlasting brand seperti Sampoerna. Tentu tidaklah gampang untuk menjadi merek yang abadi, karena itulah diperlukan banyak taktik termasuk diantaranya adalah melakukan brand rejuvenation atau peremajaan merek. Yang perlu diperhatikan adalah kapan brand rejuvenation ini perlu dilakukan. Jawabannya adalah kapan saja. Sesuai dengan konsep product life cycle, sebuah produk akan mengalami siklus introduction, growth, mature, dan decline. Nah brand rejuvenation bisa dilakukan saat mature maupun decline, bergantung pada kondisi yang dihadapi perusahaan.

Secara umum brand rejuvenation dapat dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu faktor-faktor yang mengakibatkan brand tersebut menjadi terkesan tua. Setelah itu barulah dilakukan perlindungan terhadap merek dan memberikan value added. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah langkah rejuvinasi haruslah dilakukan secara kontinu dan terus-menerus. Karena itulah akan muncul brand image baru yang lebih modern dan meningkatkan brand awareness secara signifikan pada pasar yang baru maupun untuk menghadapi permintaan pasar yang terus berubah.



Contoh aktual dari brand rejuvenation adalah Softex. Lihat saja merek pembalut wanita yang sempat menjadi merek general di era tahun 1990-an ini kemudian lambat laun mulai decline karena adanya perubahan selera pasar dan terkesan jadul. Ya, perubahan selera pasar. Sesuatu yang mau tidak mau pastilah terjadi. Apalagi di pasar yang amat sangat homogen seperti Indonesia, perubahan pasar inilah yang sering menjadi bom waktu bagi brand yang tidak cepat tanggap perubahan.

Brand rejuvenation sendiri dapat dilakukan melalui berbagai hal, seperti perubahan logo, perubahan tagline, dan bisa juga melalui perubahan strategi pemasaran. Hal ini bergantung pada situasi target market, kebutuhan perusahaan, serta strategi ke depan. Salam.

(Ingin tau lebih banyak tentang penulis? Ikuti kicauannya di Twitter @agung_putrajoyo.