Sunday 20 October 2013

Ho Chi Minh City: Discovering heritage part and war remnants (Part 3 of 3)

Setelah puas mengelilingi daerah luar kota Saigon, hari ini kita akan menghabiskan waktu hanya untuk mengeksplor daerah Ho Chi Minh City dengan.. berjalan kaki. YA! Berjalan kaki merupakan pilihan paling tepat untuk melihat setiap detil dari kota ini. Sebagian besar dari atraksi wisata juga terletak di district 1, pedestrian way yang lebar dan indah, ditambah dengan taman kota yang begitu rindang rasanya tidak sulit untuk berjalan kaki di salah satu kota favorit saya di Asia Tenggara ini.

Pagi di Ho Chi Minh City kami buka dengan meminum es kopi yang banyak dijual di warung-warung dekat hotel kami di Bui Vien Street (Ben Tanh Market area). Setelah puas menikmati kopi sambil melihat orang berlalu-lalang pertanda telah dimulainya pagi di kota Saigon, kami pun beranjak untuk membeli Banh Mi, sejenis roti yang diisi dengan sosis dan sayur lalu diberi bumbu spesial dan mayonaise. Rasanya sungguh lezat membuat kami siap untuk berjalan kaki sepanjang pagi hingga sore ini.

Gereja Notre Dame, Saigon.
Pemberhentian pertama kami adalah Catedral Notre Dame yang merupakan Gereja Katolik tertua di kota ini. Bangunannya yang masih apik dan terawat serta dilengkapi dengan patung Bunda Maria di depannya membuat gereja ini masih sering dijadikan lokasi pre-wedding oleh beberapa pasangan. Saat kami berada disana pun ada sekitar tiga pasangan yang sedang mengambil foto mesra asyik masyuk. *melipir*

Oh ya, konon katanya sekitar bulan Oktober 2005, patung Bunda Maria di depan Gereja Catedral Notre Dame ini pernah mengeluarkan air mata berwarna merah yang membuat heboh seisi kota Saigon dan setelah itu begitu banyak orang dari berbagai tempat datang untuk melihat hal ini.

Dari sana kita menuju ke Bui Vien alias kantor pos Saigon (Bưu điện Thành phò Hò Chi Minh). Bangunan indah yang berdampingan dengan Gereja Katedral ini dirancang oleh Gustave Eiffel, perancang menara Eiffel di Paris, Prancis. Ini bukanlah kantor pos biasa, namun sebuah karya seni peninggalan sejarah yang tampak berjajar dengan serasi dengan Catedral Notre Dame.

Reunification Palace, Saigon.
Puas dari sana dan menikmati indahnya taman kota Saigon, kami segera beranjak sedikit menuju Reunification Palace atau yang dulunya merupakan istana Presiden Vietnam Selatan. Dibangun pada awal tahun 1960an dan dirancang oleh arsitek Vietnam terkemuka Ngo Viet Thu, disinilah tempat tinggal dan juga kantor Presiden Vietnam Selatan sampai tentara komunis Vietnam Utara akhirnya berhasil merebut istana ini pada tanggal 30 April 1975.

Dengan kemenangan Vietnam Utara, maka berakhirlah perang Vietnam dan tentara Amerika pun melarikan diri. Tanggal 30 April pun diperingati sebagai "The Fall of Saigon" dan menandai bersatunya kembali negara Vietnam. Tepat dihalaman istana terpajang dua buah tank yang digunakan oleh tentara Vietnam Utara untuk merubuhkan pintu gerbang istana ini. Untuk memperingati kejadian bersejarah itu, istana ini selanjutnya dijadikan museum dan disebut sebagai "Reunification Palace".

Malam di Ho Chi Minh City.

Kami pun menikmati malam hari di sekitar Opera House. Setelah keluar masuk Diamond Plaza, salah satu mal kelas atas di Saigon mata kami pun melihat "Paris Baguette Cafe" yang sangat terkenal itu. Setelah perut kenyang, kami kembali mengeksplor sisi lain kota Saigon yang tak pernah membuat kami bosan. Rupanya sisa-sisa penjajahan Prancis berupa bangunan dengan arsitektur klasik namun elegan terus dirawat sebagai bagian dari keunikan kota ini. Tak heran Saigon sering disebut sebagai Paris Phuong Đông, atau Paris di timur.

Saya pribadi sangat menyukai kota ini, lengkap dengan tamannya yang asri, pedestrian way yang rapi, serta penduduknya yang ramah membuat kota ini nyaris mendekati sempurna sebagai salah satu kota yang ramah bagi penduduk aslinya maupun kepada wisatawan asing yang berkunjung.

Malam semakin larut, dan saatnya kami harus kembali ke hotel (setelah kembali menikmati segarnya segelas Trung Nguyen Coffee) untuk beristirahat karena besok seharian kami akan transit dan mengksplor Singapura. Mata mulai mengantuk, namun di kejauhan musik masih berdentuman mewarnai ramainya Ho Chi Minh City. Saatnya untuk mengucapkan see you again, Vietnam! :)


Wednesday 11 September 2013

Ho Chi Minh City: Cao Dai Temple & Cu Chi Tunnels (Part 2 of 3)

Selalu terselip perasaan senang tiap kali terbangun di kota yang baru. Hari ini kota itu adalah Ho Chi Minh City, kota terbesar di Vietnam, sebuah negara yang belasan tahun lalu pernah luluh lantak oleh perang. Hari ini, HCMC telah menjadi kota berkembang yang sangat indah dengan tata kota khas kolonial Prancis. Masyarakatnya begitu ramah dan optimis untuk terus maju menjadi salah satu kota besar di Asia Tenggara. Rencana perjalanan hari ini adalah mengikuti city tour untuk mengunjungi Cao Dai Temple dan Cu Chi Tunnels. Walaupun secara pribadi saya tidak terlalu suka mengikuti tour yang sifatnya "terjadwal" seperti ini, namun pilihan akhirnya jatuh ke tour local karena selain mempertimbangkan kedua objek wisata yang letaknya cukup jauh dari dalam kota Ho Chi Minh serta public transport disana masih belum terlalu bagus apabila dibandingkan dengan kota maju di Asia lainnya. Selain itu, harga tour local ini pun terbilang murah, yakni hanya 185.000 VND (Vietnam Dong) atau sekitar Rp 90.000 untuk tour seharian dengan bus ber-AC dan guide berbahasa Inggris! DAMN I Love HCMC! Hahaha..

Pemberhentian pertama tour ini adalah Cao Dai Temple yang terletak di Kota Tay Ninh. Sejenis kuil tempat ibadah aliran Cao Dai, dimana di kuil ini lima agama yakni Konghucu, Buddha, Islam, Katolik, dan Taoisme beribadah bersama-sama dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa. Alirannya yang dinamakan Caodaism mempunyai penganut sekitar dua juta jiwa yang tersebar di seluruh Vietnam hingga ke Prancis. Saya pernah melihat kuil sejenis di daerah Nusa Dua, Bali. Namun kuil yang terletak di Vietnam ini jauh lebih indah dan khusuk. Rasanya tidak ada batasan rasa iri, sirik, apalagi saling curiga antar umat beragama disini. Sesuatu yang sangat harus dicontoh oleh bangsa kita sendiri, dimana isu tentang agama sering menjadi isu yang paling mudah "dijual" dan tersulut.

Selanjutnya rombongan diajak untuk mengunjungi sejenis pusat kesenian Handycraft. Awalnya saya sempat sedikit malas mengunjungi "tempat wajib berhenti" apabila ikut tour seperti ini. Namun setelah masuk, rupanya ini adalah pusat kerajinan khusus bagi para korban Perang Vietnam. Jadi para pengrajinnya sebagian besar adalah orang berkebutuhan khusus. Sungguh senang rasanya melihat optimisme di wajah mereka dengan segala keterbatasan yang mereka miliki tidak membuatnya menjadi pesimis, malas-malasan apalagi berpikir untuk berbuat kriminal malah menjadikan mereka terpacu untuk semakin rajin dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Hasil penjualan dari pusat kesenian ini juga akan disumbangkan untuk yayasan khusus yang menaungi korban perang Vietnam tersebut.




Seorang bule mencoba lubang yang sudah dimodifikasi
Setelah makan siang, akhirnya kita mengunjungi Cu Chi Tunnels yang dulunya merupakan pusat persembunyian tentara Vietnam saat mereka diserang oleh Amerika Serikat. Terowongan ini sengaja dibuat pendek dan kecil, sesuai dengan postur tubuh rakyat Vietnam sehingga serdadu AS tidak dapat masuk ke dalamnya. Selain untuk tempat persembunyian, terowongan ini ibarat sebuah "kota". Dimana terdapat juga dapur umum, pusat pengobatan, tempat tidur, dll. Saat pagi tiba, dimana embun masih menutupi wilayah ini, para wanita akan masak untuk seharian sehingga asap dari masakan tersebut akan bersatu dengan embun dan tidak terlihat oleh pesawat tentara Amerika. Konon katanya Cu Chi Tunnels ini membuat tentara Amerika cukup frustasi karena selain terowongonnya yang sangat sempit, sebagiannya juga dilengkapi dengan jebakan di tengah hutan sehingga banyak tentara AS yang jatuh korban di tempat ini.

Water Puppet Show di Ho Chi Minh City
Setelah puas berkeliling di Cu Chi Tunnel, kami kembali ke Ho Chi Minh City. Dalam perjalanan pulang, kami minta ke guide untuk diturunkan di Water Puppet Show, sebuah pertunjukan dari sejenis wayang namun dimainkan di atas air yang sangat lucu dan menghibur. Dengan pertunjukan yang di atas air seperti ini, otomatis seluruh pemainnya berada di belakang panggung dan mereka sudah sangat menguasai gerakan yang ditampilkan. Benar-benar membuat penonton kagum.



 
Kem Bach Dang Ice Cream
Malamnya, kami menyempatkan diri untuk kembali mengeksplor Distrik 1 yang memang merupakan pusat keramaian kota Saigon. Setelah makan malam di Pho 2000, atau yang biasa disebut dengan Pho for President karena di tempat inilah dahulu Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton pernah menikmati semangkok Pho bersama Presiden Vietnam yang merupakan kunjungan pertama presiden Amerika pasca Perang Vietnam yang menjadi tonggak sejarah awal normalisasi hubungan antar kedua negara pasca kejadian tragis tersebut. Setelah itu, agenda shopping di pasar malam Ben Tanh tidak dapat dilewatkan. Menutup hari kedua, kamipun mencoba Kem Bach Dang, sebuah ice cream shop yang terkenal dengan es krim di dalam batok kelapanya. Rasanya sungguh nikmat! Saat akan kembali ke hotel, kami pun melihat Trung Nguyen Coffee yang sangat tersohor itu. Oh iya, di seluruh negara Vietnam, hanya terdapat satu buah store Starbucks Coffee (di dekat New World Hotel). Konon katanya brand cafe internasional asal Amerika ini kalah total oleh Trung Nguyen yang sudah mempunyai puluhan outlet di Vietnam. Kopi asal Vietnam memang terkenal dengan rasanya yang luar biasa nikmat. Melihat jam yang masih belum terlalu malam, kami pun menjadi saksi kenikmatan kopi Vietnam malam itu.. Chúc ngũ ngon Saigon! (Selamat malam Saigon!)

Tuesday 4 June 2013

Ho Chi Minh City: A Traveling Story.. (Part 1 of 3)

Changi Airport Singapore.
Kamis, 9 Mei 2013. Saya dan empat teman lainnya berangkat melalui Bandara Ngurah Rai yang tidak kunjung kelar juga proses renovasinya untuk bertolak menuju Changi Airport di Singapore. Bukannya akan mengunjungi negeri singa itu, tapi kami berlima hanya akan transit selama lima jam untuk selanjutnya mengunjungi Saigon atau yang kini secara resmi telah berganti nama menjadi Ho Chi Minh City, kota terbesar di negara Vietnam. Suatu negara yang belasan lalu pernah diguncang perang hebat dengan negeri adidaya Amerika Serikat. Perang yang penuh unsur politis antara negara liberalisme dengan komunisme. Rasanya terlalu panjang dan pelik untuk diceritakan. Tercatat, nyaris empat juta jiwa rakyat Vietnam menjadi korban dalam salah satu perang paling kejam dalam sejarah umat manusia ini.

Setelah puas berkeliling dan makan siang, announce pun telah memanggil pesawat kami Jetstar 3K557 untuk segera boarding dengan tujuan Ho Chi Minh City.. Here we come, Uncle Ho...

Tan Son Nhat International Airport (SGN).
Mendarat di Tan Son Nhat International Airport, suasana modern begitu terasa di bandara ini segera setelah kami keluar dari garbatara menuju terminal kedatangan bandara. Tidaklah terlalu besar, namun bersih dan teratur. Yang menarik adalah begitu kami melewati konter imigrasi. Wajah petugas imigrasi disini begitu kaku, jutek, tegas, apapun itu namanya namun membuat siapapun menjadi tidak nyaman. Tidak ada satu kata pun terucap dari mereka, pertanyaanpun tidak ada. Tapi tidak sampai 60 detik kemudian, dia segera menyodorkan paspor hijau saya kembali dengan tambahan stempel "VIETNAM for 30 days social visit" Hahaayy..

Kami akhirnya memutuskan untuk menuju hotel yang telah kami pesan sebelumnya via web dengan menggunakan taksi. Usahakanlah untuk selalu menggunakan taksi merek "Vinasun" dan "Mai Linh" selama di Ho Chi Minh City. Reputasi taksi di kota ini yang suka menipu turis dengan harga yang mencekik, lalu suka disasarkan sungguh terkenal namun tidak perlu khawatir karena kedua merek taksi tadi mempunyai reputasi yang bagus seperti Blue Bird Taxi di Indonesia. Yang membuat kami cukup kaget ketika memasukin pusat kota adalah perilaku pengedara sepeda motor disini. Ugal-ugalan, semrawut, dan begitu banyak. Sepertinya Surabaya atau Jakarta saja kalah dalam hal kepadatan sepeda motor. Masalah akan terjadi ketika Anda akan menyeberang disini. Saran saya bagi first-timer, menyeberanglah beramai-ramai bersama turis lain atau warga lokal.

Situasi dekat Ben Tanh Market, Saigon.
Hotel kami yang terletak di Pham Ngu Lao area ternyata seperti tourist area di Saigon. Mengingatkan saya akan Khaosan Road di Bangkok yang begitu ramai itu. Turis berbaur dengan warga lokal, duduk di pinggir jalan menikamti es kopi atau bir Saigon. Itulah gambaran Pham Ngu Lao. Segera setelah menyelesaikan check in, kami sudah tidak sabar untuk mengeksplor district1 kota ini, yang merupakan pusat keramaian dan lokasi wisata Saigon. Karena perut kami yang sudah lapar, tujuan pertama adalah restoran Pho 24, yang terletak di samping Ben Tanh Market.

City Hall Saigon.
Malamnya, kami kembali berkeliling di area Ben Tanh Market. Rupanya, di malam hari terdapat sejenis night market di kiri dan kanan pasar ini. Barang yang ditawarkan sebagian besarnya berupa produk lokal seperti pakaian, souvenir, kopi, makanan dan berbagai barang lainnya yang cocok digunakan untuk oleh-oleh. Ada beberapa tempat makan seafood di sekitar pasar yang cukup menggiurkan. Namun karena alasan kebersihan akhirnya kami mengurungkan niat untuk makan disana dan menuju ke City Hall, bangunan peninggalan kolonial Prancis. Karena bekas jajahannya, budaya Vietnam sangat lekat dipengaruhi oleh Prancis. Mulai dari roti baguette yang mudah ditemui disana, setir kiri, hingga gaya bangunannya. Malam itu setelah puas berkeliling, kami pun mencoba menyantap daging dan calamari bakar sambil menyeruput bir Saigon yang begitu terkenal itu. Semakin malam, area tempat kami menginap semakin ramai dengan live music, suara turis yang bersahutan, dan ketika itulah saatnya mengucapkan Welcome to Saigon...

(to be continued...)

Sunday 19 May 2013

Malioboro, Borobudur, dan Trans Jogja

Hari kedua di Jogja selain Malioboro juga akan diisi dengan wisata candi. Apalagi kalau bukan Borobudur dan Prambanan, keduanya sangat indah dan yang paling penting keduanya merupakan peninggalan bersejarah karya anak bangsa -yang sayangnya- terkesan kurang diperhatikan oleh pemerintah akan pengelolaan dan perawatannya.

Setelah puas menyantap breakfast di Hotel Whiz Jalan Dagen (Malioboro area) berupa Gudeg Yu Djum, perjalanan pun dimulai dengan menaiki Trans Jogja rute 2A di Halte Malioboro lalu berhenti di Terminal Jombor. Sempat ada ganti halte sekali (saya lupa nama haltenya) tapi ini bisa ditanyakan kepada petugas Trans Jogja di halte maupun di dalam bus. Secara umum para petugas bus sangatlah ramah dan informatif tentang tujuan dan objek wisata di Yogyakarta. Dari terminal Jombor, naiklah bus jurusan Borobudur (sekitar 1 jam arah Magelang dan ongkosnya 10 ribu). Turunlah di pemberhentian terakhir (tanyakan kepada kondektur di atas bus). Ingatlah bahwa ini adalah bus non-AC, namun mengingat udara di Jogja tidak sepanas di Bali maupun Surabaya rasanya ini tidaklah masalah). Dari terminal terakhir ini, bisa naik andong atau becak ke candinya (biasanya kusir akan menawarkan paket ke tiga candi yang akan membuat Anda bingung karena disitu juga ada Candi Mendut, jadi sebaiknya langsung saja bilang kalau mau ke Candi Borobudur) ongkos sekitar 10-15 ribu (ingat rajin nawar).

Tiket masuk candi harganya 30ribu, dan kompleks candi ini dibuka mulai pukul 6 pagi. Saran saya kalau Anda tidak mau berpanas-panasan dan berjubel dengan turis lain, datanglah pagi hari ketika kompleks candi masih sepi. Setelah masuk, Anda akan ditawari untuk naik kereta untuk mendekati candi. Saran saya naiklah kereta ini, selain tarifnya hanya 10ribu juga ada free air minum botol dan jarak ke candi ternyata lumayan jauh apabila berjalan kaki, lumayan ngirit tenaga terutama bagi Anda yang punya jadwal yang masih cukup padat. Bagi yang mau membeli barang dan oleh-oleh harga di dalam kompleks candi ini termasuk murah dan lebih rasional dibandingkan dengan penjual di pinggir jalan Malioboro (jangan lupa rajin nawar).

Setelah keluar dari Candi Borobudur, kami kembali ke Kota Jogja. Tujuan berikutnya adalah Candi Prambanan. Rute kesini adalah seharusnya kemarin sore sekembalinya dari Solo. Namun karena hujan deras yang tak kunjung berhenti, akhirnya rute Candi Prambanan harus dimasukkan ke hari kedua. Turun di Halte Prambanan, harga tiket masuk ke kompleks candi juga 30ribu. Rupanya karena gempa yang menimpa Jogja pada 2010 silam, saat ini Candi Prambanan cukup rusak parah. Proyek konstruksi ulang dan perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum dapat menyentuh seluruh sisi candi yang begitu bersejarah ini. Sedih rasanya melihat peninggalan sejarah harus retak-retak dan terkesan diabaikan oleh pemerintah Indonesia.

Sekembalinya dari Candi Prambanan, hari sudah hampir sore ketika kami menaiki Trans Jogja dan turun di Halte Malioboro 2 yang berada dekat dengan Jalan Dagen. Karena seharian sudah berkeliling dan menikmati keindahan candi, malamnya kami mengunjungi Plaza Ambarukmo Jogja yang konon merupakan salah satu mall terbesar di kota ini. Dan benar saja, malam itu suasana cukup ramai. Setelah berkeliling dan mencoba beberapa cakes, kami akhirnya kembali lagi ke Malioboro untuk menikmati suasana khas Jogja. Di dekat Mal Malioboro kami mencoba Artemi Ice Cream yang cukup terkenal dan memang benar bahwa rasanya sangat nikmat dan dapat dicoba.

Thursday 2 May 2013

Jogja & Solo: Sebuah Kisah Yang Tertunda

Sudah lama sekali rasanya sejak trip saya ke Jogja dan Solo (akhir bulan Januari lalu tepatnya) tapi sampai sekarang belum juga sempat menuliskannya di blog ini. Setelah berjuang mengumpulkan serpihan-serpihan cerita itu, akhirnya disinilah saya akan menceritakan kisah liburan ke dua diantara sekian kota indah di Indonesia: Yogyakarta & Solo.

Perjalanan ini dimulai pagi buta, menggunakan pesawat AirAsia rute Denpasar-Yogyakarta pukul 05.50, saya dan seorang teman mendarat di Bandara Adi Sucipto pukul 06.10 WIB, pagi itu suasana bandara masih sangat lengang. Hanya terdapat beberapa petugas bandara dan porter yang kebetulan bertugas pagi. Tidak banyak antrean dimana-mana yang membuat saya sedikit bingung apakah karena masih kepagian atau memang bandara ini tidaklah seramai Ngurah Rai di Bali atau Juanda di Surabaya. Yang pasti saya suka kota ini, bahkan ketika pertama kali mendarat di bandaranya. So, welcome to Gudeg city! :)

Dari bandara, menggunakan taksi kami pun segera menuju Jalan Malioboro, tepatnya lagi di Jalan Dagen untuk menitipkan barang di hotel tempat kami akan menginap nanti malam, Whiz Hotel Dagen. Setelah itu, kami menuju Stasiun Tugu yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Malioboro (remember, Stasiun Tugu tidaklah sama dengan Tugu Yogya.) Setelah membeli tiket kereta Sri Wedari seharga Rp 20.000,- di stasiun, kami pun mencari sarapan untuk mengisi perut yang sudah meronta-ronta sejak pagi (eh ini lapernya ya masih pagi ding!) Selesai sarapan, kami pun menunggu di dalam Stasiun Tugu. Selain karena takut ketinggalan kereta, bingung juga mau jalan-jalan kemana karena di sekitar stasiun hanyalah terdapat toko-toko dan hotel. Suasana di dalam stasiun terasa cukup otentik, walaupun sudah beberapa kali direnovasi namun kesan heritage dan khas Yogya tidak dihilangkan dari stasiun ini.

Kereta Sri Wedari Jogja-Solo
Tidak lama menunggu, kereta berwarna merah terang menyala ini pun datang. Karena merupakan kereta ekspress, tidak ada nomor bangku di tiket yang sudah dibeli sehingga penumpang pun harus rela berebut kursi. bagi yang terlambat atau kurang beruntung, Anda harus menempuh perjalanan ke Solo sekitar 1 jam dengan berdiri. Prinsip 'siapa cepat dia dapat' sangat berlaku di kereta ini.

Tiba di Stasiun Balapan Solo, kami pun segera menuju ke Keraton Solo menggunakan becak. Namun suasana sangat padat pagi itu, karena bertepatan dengan Hari raya Maulud Nabi Muhammad yang memang dirayakan dengan cukup semarak di Jogja dan Solo. Di kedua kota ini terdapat sejenis festival dengan nama Sekaten 2013 yang dipadati oleh warga setempat. Bahkan Jalan Slamet Riyadi yang merupakan salah satu jalan protokol di Kota Solo sudah dipenuhi oleh kerumunan orang sejak pagi. Dan benar saja, semakin mendekati Keraton Surakarta, situasi semakin ramai dan membuat kami menskip tempat ini dan hanya sempat mengintip dari luar saja lalu melanjutkan perjalanan menuju Pasar Klewer.

Bus Werkudara, Solo.
Puas berbelanja beberapa baju batik, kami pun segera menuju Kantor Dishub Surakarta untuk menumpang bus tingkat Werkudara yang akan membawa kami berkeliling Kota Solo. Bus ini merupakan sejenis sightseeing bus atau di luar negeri lebih dikenal dengan nama Hop On - Hop Off Bus. Dalam perjalanannya tidak banyak yang bisa kami lihat dari atas bus karena hujan deras yang turun sejak pertama kali berangkat hingga tengah perjalanan, membuat suara pemandu harus beberapa kali mengeraskan suaranya karena suara hujan. Menurut saya, informasi yang diberikan oleh pemandu tentang Kota Solo kurang 'menjual' dan informatif. Misalnya, pemandu malah lebih sibuk menjelaskan nama-nama hotel, bukannya lebih mengksplor sesuatu yang bersifat lokal seperti Loji Gandrung, kediaman Walikota Solo yang dulu juga pernah ditinggali oleh Jokowi sebelum menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Namun di luar itu, keberadaan bus ini harusnya diapresiasi sebagai salah satu inovasi dalam dunia pariwisata kreatif sebagai satu-satunya sightseeing bus di Indonesia. Bahkan, Yogya dan Bali yang mendaulat dirinya sebagai daerah pariwisata pun belumlah memiliki layanan serupa.

See you on the next chapter: back to Yogya!

Thursday 31 January 2013

Traveling Itu Menular! (Sebuah Tips Traveling)

Gunung Merapi di balik pesawat menuju Yogyakarta.
Percaya atau tidak, traveling itu menular lo. Bagaimana tidak, beberapa hari ini sejak kembali dari Yogyakarta, saya aktif memposting foto-foto selama liburan saya di Instagram dan mengundang begitu banyak komentar melalui mention di twitter. "Jadi pengen liburan ke Jogja", begitu rata-rata komentar yang masuk, di samping pembicaraan di sela-sela jam makan siang di kantor yang menanyakan naik apa ke Jogja, disana kemana saja, berapa kira-kira budgetnya, menginap dimana dan segelintir pertanyaan antusias lainnya.

Di posting setelah ini saya akan berbagi kisah traveling ke Jogja dan Solo minggu lalu, tapi kali ini saya akan berbagi tentang tips traveling agar lebih mengena di hati, cekidot!!

1. Buatlah perencanaan jauh-jauh hari
Karena selain akan mendapatkan harga tiket pesawat yang lebih terjangkau, kita juga bisa mulai membuat planning cuti di hari kejepit yang tentunya membuat cuti kita tidak cepat habis. Coba cek promo di beberapa maskapai penerbangan yang memang sekarang sering perang harga seperti AirAsia, Tiger Mandala, JetStar, hingga Citilink. Kalau tidak mau ketinggalan promonya, langganan saja promo mereka dengan memasukkan alamat email ke situs penerbangan yang bersangkutan. Simpel kok!

2. Carilah hotel/penginapan di lokasi utama
Kalau pergi ke Bali menginaplah di Kuta, kalau pergi ke Kuala Lumpur menginaplah di Bukit Bintang. Begitulah kira-kira. Karena selain mudah untuk mendapatkan makanan, kita juga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi tambahan kalau akan mengunjungi tempat-tempat ini. Tinggal turun ke lobi hotel dan berbelok sedikit, kita sudah akan menikmati suasana khas dari sebuah kota itu. Bayangkan saja kalau Anda liburan ke Bali dan harus menghadapi macetnya jalanan setiap kali Anda mau ke Kuta. Woghh!

3. Jangan ragu bertanya dan mengumpulkan informasi
Khususnya bagi tipe budget ato backpacker traveler, kaya akan informasi dari sebuah tempat yang mau dikunjungi itu sifatnya kudu dan wajib. Informasi dan pengetahuan adalah bekal utama untuk "menaklukkan" sebuah tempat. Saat ini berbagai situs jejaring sosial dan traveling seperti TripAdvisor, Lonely Planet, Foursquare, sudah menyediakan informasi menarik terkait sebuah tempat. Jangan sampai minimnya informasi hanya akan membuat waktu traveling banyak terbuang oleh tersasar dan bertanya jalan.

Okey, sekian dulu tipsnya. Jadi tunggu apalagi let's go traveling and breeze away! :)

"Worrying gets you nowhere" (Anonimous)